MENINGKATNYA
RELIGIUSITAS
PADA KELUARGA YANG KURANG RELIGIUS
PSIKOLOGI AGAMA
Disusun
oleh:
Suprapti Wulaningsih
A.
Pendahuluan
Peningkatan rasa agama yang dialami seseorang dalam
kehidupannya di mana terjadi ketidak pedulian agama pada masa kanak-kanan dan
religiusitas keluarganya yang kurang religius. Kondisi tersebut sesuai dengan
teori transformasi religius dalam
buku psikologi dzikir (Subandi, 2009), yang mengatakan bahwa. Pertama, perubahan afiliasi keagamaan di
mana seseorang berpindah dari agama satu ke agama lain (Maedow & Kahoe,
1984; Ullman, 1989). Kedua, peningkatan penghayatan keagamaan orang-orang
yang semula tidak peduli agama atau tidak percaya dengan agama (agnostic) menjadi orang yang sangat
religius. Ketiga, perubahan atau
peningkatan komitmen dan keyakinan beragama dalam konteks agama yang sama
(James, 1902; Byrnes, 1984; Ullman, 1988, 1989). Fenomena fransformasi ini
sejajar dengan proses perkembangan religius dari kehidupan yang belum matang
menuju kearah yang lebih matang.
Walaupun kasus ini menekankan pada fenomena konversi
agama, khususnya konversi mistis, tetapi istilah transformasi religius tetap digunakan. Alasan utamanya adalah
karena istilah transformasi religius dianggap
mencakup pengalaman beragama yang lebih luas, mulai dari meningkatnya komitmen
terhadap agama yang dianut, transformasi kesadaran (transformation of consciousness), dan transformasi diri (transformation of the sense of self). Pengalaman-pengalaman
seperti itu sering ditemukan pada orang-orang yang menlaksanakan praktik
meditasi (Maedow & Kahoe, 1984).
Istilah transformasi
religius di sini didefinisikan sebagai perubahan orientasi beragama dari
kehidupan beragama orang kebanyakan
menuju kehidupan beragama yang bersifat mistis
sebagai dampak dari suatu praktik meditasi. Dalam konteks ini, istilah
kehidupan beragama orang kebanyakan mengacu pada kehidupan beragama yang pada
umumnya ditemukan pada orang dewasa, yang ditandai oleh kedangkalan ritualitas dan
tendensi egosentris. Sementara itu, kehidupan beragama yang bersifat mistis
merupakan suatu kehidupan beragama yang disertai dengan pengalaman mistis dan
hubungan personal dengan Tuhan.
Pembahasan
literatur yang berhubungan dengan fenomena transformasi religius yang pertama,
tentang proses perubahan kehidupan beragama yang dramatis dari kehidupan
beragama orang kebanyakan ( ordinary
religious life) menuju kehidupan
beragama yang mempunyai mistis ( mustical
religious life). Proses perubahan bergama yang dramatis disebut dengan
istilah transformasi religius (religious
transformation). Peran praktik meditasi dalam proses transformasi religius
dan kajian fenomena proses tranformasi religius dalam beberapa literatur akan
diuraikan pada pembahasan di bawah.
B.
Teori Transformasi Religious
1.
Fenomena Transformasi Religius
Dalam
psikologi agama, istilah ‘konversi agama’ mengacu pada suatu tipe perkembangan
keberagamaan yang diwarnai oleh perubahan kehidupan secara dramatis, baik
berkaitan dengan ideologi maupun perilaku beragama (Clark, 1958; James 1902).
Perubahan tersebut dapat termanifestasikan dalam tiga hal. Pertama, perubahan afiliasi keagamaan di mana seseorang berpindah
dari agama satu ke agama lain (Maedow & Kahoe, 1984; Ullman, 1989). Kedua, peningkatan penghayatan keagamaan
orang-orang yang semula tidak peduli agama atau tidak percaya dengan agama (agnostic) menjadi orang yang sangat
religius. Ketiga, perubahan atau
peningkatan komitmen dan keyakinan beragama dalam konteks agama yang sama
(James, 1902; Byrnes, 1984; Ullman, 1988, 1989). Dalam konteks agama Islam di
Indonesia, model konversi agama yang ketiga ini dapat dilihat pada fenomena
perubahan orang muslim abangan yang
kemudian berubah menjadi ‘santri’.
Berdasarkan
perubahan arah konversi agama di atas, Thouless (1936) membedakan antara
‘konversi biasa’ (ordinary conversion)
dan ‘konversi mistis’ (mystical
conversion). Istilah ‘konversi biasa’ digunakan untuk perubahan kehidupan
beragama dari agnostik (tidak percaya Tuhan dan kehidupan setelah mati) menuju
kehidupan beragama yang serius. Termasuk dalam
hal itu adalah perubahan dari satu agama ke agama lain. Sementara itu, Thouless
mendefinisikan ‘konversi mistis’ sebagai perubahan religius yang dramatis dari
kehidupan beragama yang dilaksanakan orang pada umumnya menuju kepada kehidupan
beragama yang mencakup dimensi mistis dalam konteks agama yang sama.
Klasifikasi
Thouless di atas menurut saya memiliki kekurangan. Ada dua alasan yang bisa
dikemukakan untuk mendukung pandangan ini. Pertama,
pengalaman mistis tidak hanya dialami oleh orang-orang yang mengalami
konversi mistis. Ada banyak contoh mengenai pengalaman mistis yang juga
memainkan peranan yang penting bagi orang-orang yang berubah dari agnostik
menuju ke kehidupan teligius. Kedua, pengalaman
mistis tidak hanya terjadi secara alamiah sebagai pengalaman yang tidak
diperkirakan oleh individu, tetapi pengalamn mistis dapat juga terjadi sebagai
dampak dari disiplin spiritual yang khusus, misalnya meditasi atau puasa yang
rutin.
Istilah
transformasi religius di sini
didefinisikan sebagai perubahan orientasi beragama dari kehidupan beragama orang kebanyakan menuju kehidupan
beragama yang bersifat mistis sebagai
dampak dari suatu praktik meditasi. Dalam konteks ini, istilah kehidupan
beragama orang kebanyakan mengacu pada kehidupan beragama yang pada umumnya
ditemukan pada orang dewasa, yang ditandai oleh kedangkalan ritualitas dan
tendensi egosentris. Sementara itu, kehidupan beragama yang bersifat mistis
merupakan suatu kehidupan beragama yang disertai dengan pengalaman mistis dan
hubungan personal dengan Tuhan.
2.
Meditasi dan Transformasi Religius
Sejak
abad ke-20 yang lalu, praktik meditasi telah mendapat perhatian luar biasa dari
masyarakat Barat. Esensi praktik meditasi adalah usaha untuk mengikat kesadaran
menuju satu objek yang tidak berubah dalam waktu tertentu (Ornstein, 1986).
Terdapat banyak macam teknik meditasi. Bentuk paling umum dari praktik meditasi
adalah meditasi auditori yang melibatkan penggunaan mantra, yaitu kata-kata atau frasa stertentu yang dianggap sakral.
Dalam trasisi Islam terdapat beberapa formula yang sering digunakan untuk
mencapai kesadaran meditatif antara lain : laa
illa ha illallah (Tiada Tuhan Selain Allah) atau astaghfirullah-al-adzim (Aku berlindung kepada Allah).
Di
bawah ini adalah karakteristik-karakteristik pengalaman mistis yang dapat
ditemukan pada beberapa literatur (lihat James, 1902; Maedow dan Kahoe, 1984,
Spilka, 1991; Stace, 1966)
Petama,
pengalaman mistis mempunyai kualitas neorik.
Artinya, bahwa pengalaman itu tidak hanya berupa pengalaman emosional saja di
mana orang merasakan keterdekatan dengan Tuhan.
Kedua,
pengalaman mistis tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, sehingga pengalaman
mistis sulit dideskripsikan secara verbal seutuhnya.
Ketiga,
pengalaman mistis mempunyai kualitas kesatuan (quality of unity). Artinya, bahwa orang yang mendapatkan pengalaman
mistis dapat merasakan keutuhan dan kesatuan segala sesuatu.
Keempat,
pengalaman mistis adalah sebuah pengalaman yang nyata (real).
Kelima,
pengalaman mistis mempunyai unsur keterlepasan dengan dimensi ruang dan dimensi
waktu. Keterlepasan dengan dimensi ruang terjadi ketika orang merasa bahwa dia
tidak lagi berada di tempatnya saat itu.
Keenam,
pengalaman mistis mempunyai kualitas paradoksal. Artinya, bahwa orang yang
berada dalam pengalaman mistis sering membuat pertanyaan yang kontradiktif, tetapi
dapat diterima dengan logis.
Ketujuh,
pengalaman mistis adalah bersifat pasif. Artinya bahwa orang yang mendapatkan
pengalaman mistis tidak mau mengklaim bahwa apa yang diperolehnya merupakan
hasil dari usahanya, melainkan karunia dari Tuhan.
Dalam
berbagai riwayat, mereka diceritakan mempunyai pengalaman mistis sebelum mereka
mengubah kehidupannya mereka sendiri maupun mengubah masyarakat di sekitarnya
(Jones, 1937; Clark, 1958). Orang biasa dapat juga mencapai kondisi terebut,
baik melalui usaha ritual yang sungguh-sungguh maupun dengan melaksanakan
praktik meditasi atau yang lain sesuai dengan tradisi agama masing-masing.
3.
Amaliah Dzikir dan Transformasi Religius
Berkaitan
dengan amalan dzikir yang dilaksanakan dengan menggunakan teknik khusus yang
mirip dengan meditasi. Dzikir dengan cara ini mempunyai kekuatan yang besar
yang dapat mengarahkan terjadinya transformasi religius. Menurut Trimingham
(1971), dzikir merupakan inti dari mistisisme dalam Islam. Penyebutan nama
Allah secara berulang-ulang dianggap sebagai suatu cara untuk membersihkan jiwa
dan menyembuhkan penyakit-penyakit di dalamnya.
Selama
proses penyucian diri dan perjalanan mendekatkan diri kepada Allah, orang yang
melaksanakan dzikir sering mendapatkan pengalaman-pengalaman mistis atas
pengalaman Altered State of Consciousness
(ASC), yaitu suatu bentuk kesadaran yang berubah, yang berbeda dengan
kesadaran orang normal pada umunya.
C.
Kasus dan Analisa
1.
Kasus
Pengalaman transformasi religius yang dibahas dalam kasus
ini merupakan hasil mini riset tentang peningkatan religiusitas seseorang dalam
suatu keluarga yang tidak religius. Akan tetapi lambat laun, seseorang ini
mampu membawa pengaruh baik terhadap keluarganya. Terbukti dari tergeraknya
keluarga untuk mengikuti kegiatan keagamaan di kampung, seperti pengajian
selapanan, yasinan setiap malam jumat yang dulunya tidak peduli dengan hal
seperti itu. Seseorang yang diteliti adalah perempuan usia 24th, dari empat
bersaudara. Dan pada tanggal 20 November 2011 dia menikah dengan seseorang yang
telah menjadi pilihannya. Dalam penelitian ini saya mewawancarainya di Masjid
seusai solat magrib.
Dia menggambarkan masa kanak-kanaknya sebagai seorang
anak yang tidak peduli dengan ajaran agama Islam. Karena dari orang tua dan
kakak-kakaknya tidak ada yang memberi bimbingan. Untuk solat pun boleh
dikatakan jarang. Ketika SMP dia mengatakan bahwa teman-teman SMP-nya nakal. Dia
tidak suka dengan keadaan itu, sekolah ditempat yang nakal. Dia mencoba mencari
kenyamanan saat itu, dan ketika di sekolah ada
suatu acara ESQ, entah tidak tau kenapa, dia merasa kecil dan dihantui rasa
gelisah, tetapi di sisi lain dia merasa tenang. Hanya bisa menangis dan
memikirkan apa yang sedang dia alami.
Sepulang dari sekolah dia merenungkan itu, dan sesuatu
terjadi lagi saat di masjid menyalakan lantunan qiroah. Kata dia bergetar
hatinya dan ingin bisa membaca quran seperti itu. Dia mulai tergerak untuk
belajar mengaji dan solat dengan benar setelah kejadian itu. Karena sebelumnya
belum bisa mengaji dengan benar, hanya sebatas hafalan saat duduk di sekolah
dasar. Solat pun bisa hanya sekedar praktik dan lupa-lupa bacaannya. Selain itu
karena faktor keluarga yang tidak banyak tau tentang agama dan lingkungan
masyarakat yang memberi banyak pengaruh yang mendorong dirinya ingin mendalami
agama sendiri. Dalam keadaan ini dia mulai mencari buku cara solat di
perpustakaan SMP. Secara diam-diam dia belajar sendiri. Menjelang ujian kelas 3
SMP dia merasa bahwa solat dan berdoa dapat memberi ketenangan. Dia merasa ada
ketenangan dan merasa diberi jalan, doanya terkabul.
Dari sinilah dia mulai berminat untuk memakai jilbab dan
ingin melanjutkan sekolah di sekolah islam. Dia diterima di SMK Ma’arif 1 Salam,
jurusan tata busana. Dia mengatakan bahwa teman kelompok di sekolah kebanyakan
dari pondok pesantren. Dari sini dia belajar agama, belajar dengan teman
kelompok dan pada akhirnya karena lingkungan keluarga yang kurang bisa memberi
apa yang dia inginkan, dia memutuskan untuk tinggal di pesantren. “mboten
ngertos alasane, pokok’e pengen mawon”. Maksudnya adalah tidak tahu apa
alasannya, yang penting ingin melakukan apa yang menjadi keinginan hatinya. Dia
mengatakan ada sesuatu yang ingin dirubah dalam kehidupannya.
Setelah dua minggu tinggal di pesantren, terlontar dari
pembicaraannya “atiku ayem”. Maksudnya yakni hatinya tentram, setelah tinggal
di pesantren. Karena ada yang membimbing mengaji dan beribadah yang lain. Namun
belum ada satu bulan dia berubah fikiran. Dia merasakan banyak aturan yang
mengekang, yang membuat dia tidak nyaman belajar agama di pesatren itu lagi.
Genap satu bulan dia memutuskan untuk kembali tinggal dirumah. Namun sudah ada
perubahan yang saya lihat dari dirinya. Sudah memakai rok dan berjilbab.
Keinginan dia keluar tetap ada komitmen bahwa tetap ingin belajar agama di
rumah. Sehabis solat magrib di masjid, selalu meminta bimbingan ustazah di
kampung saya untuk mengajari mengaji. Karena ingin bisa seperti yang lain. Dia
mengatakan bahwa tidak malu belajar mengaji iqro’ dengan terbata-bata, justru
dia malu kalau tidak bisa. Walau kadang-kadang masih aja ada gangguan. Dia
menuturkan seperti itu.
Saya mencoba bertanya kepada ustazah, tentang dia.
Ustazah mengatakan bahwa dia mempunyai kemauan keras walau terkadang masih
banyak kendala. Sering meminta solusi dan nasehat. Ustazah hanya menyarankan
untuk solat malam, salalu berdoa dimanapun dan tetap sabar, “insyaallah ono
dalane” kata usatazah (Insyaallah akan ada jalan). Sering cerita kepada ustazah tentang
kepribadiannya dan hubungan dengan orang tuanya. Dia mengatakan kepada ustazah
bahwa sering pingsan karena banyak pikiran. Salah satunya pikiran mengenai
keluarganya yang kurang religius. Menurut saya ini merupakan faktor yang saya dapat
dari keluarganya walau tidak langsung menanyakan langsung kepada keluarganya.
Dengan penjelasan ustazah tentang isi hati dia, saya jadi
mengerti. Kedekatan ustazah dengan dia dan mencoba memberikan solusi kepadanya
memberikan perubahan. Orang tua yang sudah mulai menjalin komunikasi dengan
ustazah merupakan awal pencerahan. Orang tua dan keluarganya kini lama-lama
berubah menjadi seseorang yang peduli dengan agama lewat anaknya tersebut dan
atas bantuan ustazah. Kini orang tuanya sering mengikuti kegiatan keagamaan di
kampung. Dan diapun kini sudah lancar
memaca al-quran.
2.
Analisa
Analisis dari kasus tersebut, sesuai dengan teori transformasi religious yang mengatakan
bahwa perubahan dapat dimanifestasi oleh adanya peningkatan penghayatan
keagamaan orang-orang yang semula tidak peduli agama atau tidak percaya dengan
agama (agnostic) menjadi orang yang
sangat religius. Serta adanya perubahan atau peningkatan komitmen dan keyakinan
beragama dalam konteks agama yang sama (James, 1902; Byrnes, 1984; Ullman,
1988, 1989).
Dari analisis tersebut dapat dilihat bahwa pengalaman
meditasi (dzikir) pada setiap partisipan mampunyai keunikan sendiri-sendiri.
Tetapi tampak juga beberapa kesamaan. Untuk memperoleh gambaran yang jelas
mengenai proses terjadinya transformasi religius ada empat proses transformasi.
Pertama, pra-dzikir yang mencakup kehidupan religi objek dari masa kanak-kanak
sampai ke kontak pertama mereka dengan kelompok pengajian. Kedua, kontak awal
dengan pengajian yang meliputi pengalaman-pengalaman dan peristiwa yang
mengawali bergabungnya objek ke dalam kelompok pengajian dan mempraktikkan
ajaran dzikir. Ketiga, pengalaman dzikir di mana objek melaksanakan secara
intensif dan melaporkan banyak pengalaman religius terkait dengan praktik
dzikir. Keempat, pembaharuan kehidupan religius yang mencerminkan religius
onjek yang baru. Dari ke empat analisis dari buku psikologi dzikir (Subandi,
2009), saya akan menguraikan terkait kasus diatas.
a.
Episode Pra-Dzikir
Dalam kasus di atas mengungkapkan bahwa dalam pelaksanaan
shalat dan mengaji, dia hanya sebagai formalitas saja, tanpa merasakan hubungan
dengan Allah. Motif melaksanakan ritual agama pada umumnya bersifat egosentris.
b.
Episode Kontak Awal dengan Pengajian
Objek sudah mengalami keterlibtan intensif dalam agama
Islam, baik pada keterlibatan rasional (semangat dia untuk mempeajari agama
Islam lebih dalam) maupun emosional (keterlibatan objek dalam agama Islam
ditunjukkan pada keseriusan dalam melaksanakan Ibadah).
c.
Episode Pengalaman Dzikir
Dia mengalami pencerahan di mana dia berusaha belajar dan
mendalami agama sendiri. Menemukan makna dasar dari ritual-ritual agama Islam.
Didapatnya saat ESQ dan saat mendengar tilawah Quran hatinya bergetar.
Pemahaman dia tentang ajaran agama semakin dia pahami.
d.
Episode Pembaharuan Kehidupan Religius
Setelah melaksanakan dzikir (doa, meditasi) dan mendapat
berbagai macam pengalaman seperti di ponpes dan pengalaman yang lain menyatakan
bahwa dia merasa lebih dekat dengan Allah. Dan pengaruh dirinya bagi
keluarganya. Dia merasakan ada pertolongan Allah dan ada rasa bahwa doa-doanya
terkabut.
Demikian analisis saya berkaitan dengan kasus yang saya
angkat dari seseorang, tepatnya tetangga saya pada peningkatan religiusitasnya.
D.
Kesimpulan
Sudah dikemukakan di dalam kajian di atas bahwa fenomena
fransformasi ini sejajar dengan proses perkembangan religius dari kehidupan
yang belum matang menuju kearah yang lebih matang. Di sini objek banyak
mengalami hubungan dekat dengan Allah. Namun perjalanan untuk menjadi lebih
dekat dengan Allah ini mengalami suatu hambatan. Salah satu hambatannya adalahgangguan makluk
halus yang kadang diaggap sebagai jin.
Tapi pada akhirnya hambatan dan godaan dalam transformasi
religius, baik hambatan dari dalam maupun dari luar dirinya dapat diatasi oleh
seseorang dangan cara melaksanakan dzikir (doa) terus menerus (istiqamah) dan
menghadiri pertemuan-pertemuan jama’ah pengajian. Dukungan dan pengarahan dari
orang lain, terutama yang lebih senior, sangat diperlukan agar orang tersebut
tidak mengalami kesesatan.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin. 2010. Psikologi Agama. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada
Subandi. 2009. Psikologi Dzikir. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Thouless, Robert H.
1992. Pengantar Psikologi Agama.
Jakarta : Rajawali Pers
Casino Del Sol, CA | Hotel & Casino - JetBlue
BalasHapusFind the best deals 파주 출장마사지 on Casino Del Sol, CA, 계룡 출장마사지 including 여주 출장마사지 fully refundable rates with free cancellation. Guests enjoy 구미 출장샵 the locale. 속초 출장마사지 Casino Del Sol. Hotel and