ASGHAR
ALI ENGINEER
Suatu agama, baik yang mengaku
sebagai agama wahyu maupun tidak, tidak bisa lepas dari pengaruh situasi
asal-usulnya yang kompleks. Adanya campur tangan Tuhan sekalipun, tidak bisa
terlepas dari pengaruh-pengaruh ini. Teologi Islam, sebagaimana dinyatakan oleh
Al-Qur’an, tidak mengenal konsep campur tangan Tuhan yang semena-mena, bahkan
dalam teologi Asy’ariah sekalipun. Pernyataan Al-Qur’an dalam masalah ini
sangat jelas.
“Kamu tidak akan pernah menemukan perubahan apa pun pada
sunnah Allah”.[1]
Bahkan pahala dan siksa Tuhan, berbeda dengan teologi
Calvinis, bukan atas dasar tindakan Tuhan yang semena-mena. Al-Qur’an
menyatakan,
“Tidak ada sesuatu pun bagi manusia, kecuali apa yang
diupayakan”.[2]
Tentu saja, petunjuk Allah (taufiq min Allah) tidak
ditolak, tetapi petunjuk Allah itu, sepanjang perhatian teologi Al-Qur’an,
tidaklah bersifat semena-mena. Taufiq (petunjuk Allah) dalam teologi Islam
sesungguhnya merupakan potensi untuk bertindak yang diciptakan Tuhan, yang
masih mempunyai kemungkinan dapat atau tidak dapat diaktualisasikan, karena
manusia adalah “agen” yang bebas.
Proses historis juga sangat diperlukan dalam Islam.
Sejarah bukanlah mitos, bukan pula suatu proyek arbitrer yang sama sekali tidak
mempunyai kausalitas sosial. Al-Qur’an memang mempunyai pendekatan teleologis
sebagaimana kisah nabi-nabi Israel yang diceritakan dengan penggambaran yang
jelas, tetapi kausalitas tidaklah diabaikan begitu saja. Kemurkaan Allah kepada
suatu bangsa atau seseorang diberlakukan ketika mereka mengabaikan proses
kausalitas sosial dan berbuat menyimpang dari sunnah-Nya, baik secara fisik
(hukum alam) maupun moral (hukum-hukum etik yang mengacu pada hudud Allah dalam
Al-Qur’an). Al-Qur’an menyatakan:
“Telah banyak negeri yang Kuhancurkan ketika warganya
melakukan kezaliman. Maka reruntuhannya menimpa atap-atapnya, dan bagaimana
telaga dan gedung-gedung (mereka tinggalkan).”[3]
Dan lagi,
“Dan banyak negeri yang aku biarkan, sementara warganya
berbuat zalim, lalu setelah sampai waktunya, Aku kenakan siksa bagi mereka…”[4]
Dengan demikian kita melihat bahwa teologi Islam,
sebagaimana dinyatakan Al-Qur’an, sama sekali tidak mengabaikan determinisme
sejarah,[5] tetapi sebaliknya, secara serius memperhatikan peristiwa sejarah serta
pengaruh-pengaruhnya yang menentukan. Islam juga mencoba menanmkan kesadaran
sejarah pada umatnya. Al-Qur’an berkata:
“Apakah mereka tidak pernah melakukan penjelajahan di
muka bumi? Mereka mempunyai hati yang dengannya mereka dapat memahami, dan
mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah mata-hati yang ada di
dalam dada.”[6]
Apa yang dinyatakan secara jelas adalah bahwa kesadaran
yang tepat diperlukan untuk memahami sesuatu dan mengambil hikmah dari
peristiwa-peristiwa sejarah, dan bukan semata-mata persepsi inderawi yang
dimiliki setiap orang.
Sebelum kita membahas lebih lanjut asal-usul Islam,
kiranya kita perlu memahami istilah “determinisme sejarah” dengan tepat. Hal
ini tidak lain untuk menghindari kesalahpahaman. Istilah ini tidak menafikan
lingkup yang sah bagi inisiatif manusia yang bagaimanapun sesuai dengan
persepsi manusia tentang tujuan ilahiyah.[7]
Menjelang dewasa, Nabi
menemukan situasi yang sangat kacau di Mekkah, tempat Islam dilahirkan. Seorang
yang berperilaku jujur, yang memperoleh gelar Al-Amin, tentulah sangat gelisah
melihat situasi yang ada di hadapannya, dan mencari jalan keluarnya. Seorang
yang sangat rendah hati tapi berhati dan berotak luar biasa cerdas, mulai
mencari jalan keluar yang kemudian menuntunnya untuk menyendiri di gua Hira, di
sebuah pegunungan berbatu di luar kota Mekkah. Muhammad, Nabi Islam itu,
setelah melewati hari-hari meditasi dalam kesendiriannya di gua, akhirnya
memperoleh cahaya wahyu Tuhan. Wahyu, secara essensial, berwatak religius,
namun tetap menaruh perhatian pada situasi yang ada serta memiliki kesadaran
sejarah. Ayat-ayat pertama Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi, sebagaimana
nanti akan kita lihat, mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap
situasi yang terjadi di Mekkah.
Lalu, bagaimana situasi
Mekkah ketika itu? Mekkah sejak akhir abad kelima telah berkembang menjadi
pusat perdagangan yang penting. “Mekkah menjadi makmur, karena lokasinya berada
pada rute strategis dan menguntungkan dari Arabia Utara ke Arabia Selatan;
Mekkah menjadi jalur utama perdagangan dan menjadi pusat pertemuan para
pedagang dari kawasan Laut Tengah, Teluk Parsi, Laut Merah melalui Jeddah,
bahkan dari Afrika.[8] Dengan demikian Mekkah berkembang menjadi pusat keuangan
dari kepentingan internasional yang besar. Karena itu, bersamaan dengan
berkembangnya perdagangan dan peredaran uang, suatu pandangan hidup dan cara
pandang baru pun muncul, meskipun belum dinyatakan secara sadar dan tepat.
Kerja komersial tentu mempunyai logikanya sendiri dan mengarahkan masyarakat
pada suatu cara hidup tertentu. Dinamika sosial dalam masyarakat Mekkah yang
seperti itu mengarahkan pada suatu kehidupan yang tidak selaras dengan
kehidupan masyarakat yang beralaskan norma-norma kesukuan.
Pada pasir di sekitar Mekkah
yang tak bersahabat membuat beberapa suku merasa tenang hidup di Mekkah. Namun,
sejalan dengan pertumbuhan ekonomi perdagangan yang sangat cepat, biaya
kehidupan di Mekkah menjadi masalah baru bagi suku-suku itu. Orang-orang Baduy
itu mempunyai cara pandang dan etika kesukuan tertentu, misalnya watak
egalitarian. Mereka terbiasa bebas dari semua bentuk tanggungjawab kecuali
sebatas apa yang menyangkut suku mereka. Suku-suku padang pasir itu hidup
nomadik, karena itu tidak banyak mengembangkan tradisi pemilikan pribadi
kecuali sebatas hewan peliharaan dan persenjataan ringan. Kebutuhan-kebutuhan
mereka pun sangat sederhana sekedar untuk melangsungkan kehidupan dan ditandai
tidak adanya ekonomi uang (cash economy). Oleh karena itu, masalah akumulasi
dan pemusatan kekayaan, tidak muncul.
Di satu sisi, masyarakat
pedagang (yang berdasar pada sirkulasi produk, bukan pada produksinya),
tergantung pada perluasan ekonomi uang. Masyarakat ini mengembangkan
lembaga-lembaga pemilikan pribadi, memperbanyak keuntungan, menumuhkan
disparitas ekonomi dan pemusatan kekayaan. Etika masyarakat perdagangan itu
tentu saja bertabrakan dengan etika masyarakat kesukuan. Kebangkrutan sosial di
Mekkah, sesungguhnya berakar pada konflik-konflik ini. Karena cepatnya
perkembangan operasi perdagangan, beberapa pedagang yang memiliki keahlian yang
berasal dari berbagai klan dan suku, terus menerus memperbanyak kekayaan
pribadinya. Bahkan mereka membentuk korporasi bisnis antar-suku dan menerapkan
monopoli pada kawasan bisnis tertentu di tempat asal mereka. Orang-orang lemah
dan tersingkir dari persaingan bebas ini mencoba membentuk asosiasi yang mereka
sebut Hilf al-Fudul (Liga Orang-orang Tulus).
Nabi tergabung dalam Liga
ini dan selalu merasa bangga dengan persekutuannya dengan Liga tersebut.
Berbagai penjelasan telah ditawarkan untuk pembentukan Liga ini.[9]
Demikian pula orang-orang
miskin, lemah, terlantar dan tak terlindungi yang terjebak dalam proses sosial
yang tak terelakkan itu merebak di pinggiran kota perdagangan Mekkah. Dalam
struktur masyarakat kesukuan, hancurnya struktur masyarakat kesukuan di Mekkah
bertanggungjawab terhadap terbukanya pintu ketegangan sosial.[10] Sementara
itu, monopoli perdagangan sedang muncul di Mekkah.[11]
Agama apapun, sebagaimana
telah dinyatakan di muka, membawa ciri-ciri asal-usul kelahirannya, sekalipun
agama itu agama wahyu. Ajaran Islam sebagaimana dinyatakan di dalam Al-Qur’an,
tanpa pengecualian juga terkena hukum ini. Tuhan menjanjikan dalam Al-Qur’an
untuk mengutus seorang pembimbing atau seorang pemberi peringatan ketika suatu
masyarakat menghadapi krisis sosial dan krisis moral. Muhammad dipilih sebagai
instrumen kemahabijaksanaan Tuhan untuk membimbing dan membebaskan rakyat Arabia
dari krisis moral dan sosial yang lahir dari penumpukkan kekayaan yang
berlebih-lebihan sehingga menyebabkan kebangkrutan sosial. Islam bangkit dalam
setting sosial Mekkah, sebagai sebuah gerakan keagamaan, namun lebh dari itu,
ia sesungguhnya sebuah gerakan transformasi dengan implikasi sosial ekonomi
yang sangat mendalam. Islam, dengan kata lain, menjadi tantangan serius bagi
kaum monopolis Mekkah.
Harus dicatat, kaum hartawan
Mekkah, bukan tidak mau menerima ajaran-ajaran keagamaan Nabi–sebatas ajaran-ajaran
tentang penyembahan kepada satu Tuhan (Tauhid). Hal itu bukanlah sesuatu yang
merisaukan mereka. Yang merisaukan mereka justru implikasi-implikasi
sosial-ekonomi dari risalah Nabi itu. Seperti diketahui, di sana telah
berkembang kepentingan ekonomi perdagangan yang sangat kuat. Mereka semuanya
merasakan bahwa di dalam risalah Nabi terdapat suatu yang mengancam kepentingan
mereka, yakni kepentingan akumulasi kekayaan yang selama ini berjalan tanpa
rintangan. Namun sekarang ayat-ayat Al-Qur’an mencela penumpukan kekayaan itu.
Salah satu ayat yang diturunkan di Mekkah pada awal-awal Islam mengatakan:
“Celakalah bagi setiap
pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia
mengira bahwa harta itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya
dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthomah. Dan tahukan kamu Huthomah
itu? (yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan, yang (membakar)
sampai ke ulu hati.”[12]
Fakta bahwa Islam lebih dari
sekedar sebuah agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi
sosial dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi, dibuktikan oleh
penekanannya pada shalat dan zakat. Dalam kebanyakan ayat Al-Qur’an, shalat
tidak pernah disebut tanpa diiringi dengan zakat. Zakat, seperti digariskan
Al-Qur’an, dimaksudkan untuk distribusi kekayaan kepada fakir dan miskin, untuk
membebaskan budak-budak, membayar hutang mereka yang berhutang dan memberikan
kemudahan bagi ibnu as-sabil (yang secara harfiah diartikan sebagai infrastruktur
bagi orang-orang yang berpergian). Di Arab ketika itu, langkah-langkah seperti
itu dirasakan sebagai hal baru yang sangat revolusioner, karena itu masyarakat
bisnis Mekkah, yang merasa kepentingannya terancam melakukan perlawanan
terhadap Nabi.
Signifikansi transformatif
dari ajaran Islam, lebih lanjut dibuktikan oleh kenyataan bahwa ajaran-ajaran
itu lahir di dalam polarisasi kekuatan-kekuatan sosial. Budak-budak dan
orang-orang yang tidak pandai berdagang di satu pihak, dan pemuda-pemuda
radikal di pihak lain, bersatu mendukung Nabi. Orang-orang kafir yang menentang
risalah Nabi merasakan hal itu sebagai pukulan keras bagi kepentingan mereka.
Masalah ini diisyaratkan dalam Al-Qur’an ketika ia mengatakan:
“Dan kami tidak mengutus
pada suatu negeri seorang pemberi peringatan, melainkan orang-orang yang hidup
mewah dinegeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus
untuk menyampaikannya.”[13]
Tapi Al-Qur’an
memperingatkan orang-orang kaya ini:
“Dan sekali-kali bukanlah
harta dan (bukan) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepadaKu sedikitpun;
tetapi orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.”[14]
Dengan demikian sangat jelas
bahwa orang-orang kafir dalam arti yang sesungguhnya adalah orang-orang yang
menumpuk kekayaan dan menghidupkan terus menerus ketidakadilan serta merintangi
upaya-upaya menegakkan keadilan dalam masyarakat. Keadilan, sebagaimana nanti
akan kita lihat, merupakan salah satu aspek penting dalam ajaran Islam di
bidang ekonomi.
Karena memperluas jaringan
perdagangan di tingkat internasional, Mekkah siap berada di puncak revolusi
sosial. Namun, hingga munculnya Islam, tidak ada pemimpin terkemuka yang mampu
mengartikulasikan teori yang sistematis dan masuk akal untuk memajukan
masyarakat Mekkah, baik pada dataran spiritual maupun pada dataran fisik.
Muhammad, adalah orang pertama yang memikirkan proses perubahan yang terjadi
dalam masyarakat Mekkah secara serius. Tetapi, visi dan pemikiran Nabi dalam
mengembangkan ajaran-ajarannya itu tidak semata-mata ditentukan oleh situasi
Mekkah saja. Ajaran-ajarannya, yang diekspresikan dalam idiom-idiom
religio-spiritual, sangatlah universal dalam pelaksanaannya dan menimbulkan
restrukturisasi masyarakat secara radikal. Kita akan membahas masalah ini
secara detail, agar kita mampu memahami kekacauan dunia Islam saat ini.
Sebagaimana yang dikemukakan
dengan tepat oleh Muhammad Ahmad Khalfallah, pada dasarnya Nabi Muhammad adalah
seorang revolusioner dalam ucapan maupun dalam perbuatannya. Ia bekerja demi
perubahan radikal pada struktur masyarakat sosial pada masanya.[15] Ia
mengabaikan
kemapanan di kotanya, yang
telah dikuasai oleh orang-orang kaya dan penguasa Mekkah. Rumusan yang
didakwahkan, La ilaha illa Allah, dengan sendirinya sangat revolusioner dalam
implikasi sosial-ekonominya. Kekuatan revolusioner manapun, pertama-tama
haruslah merombak status-quo, sebelum alternatif lainnya bisa berfungsi. Dengan
mendakwahkan La ilaha illa Allah, Nabi Muhammad tidak hanya menolak
berhala-hala yang dipasang di Ka’bah, tetapi juga menolak untuk mengakui
otoritas kelompok kepentingan yang berkuasa dan struktur sosial yang ada pada
masanya.
Orang-orang kafir Mekkah
lebih merasa terusik oleh implikasi-implikasi revolusioner teolog Muhammad
ketimbang dakwahnya yang menantang penyembahan berhala. Semua tokoh
penentangnya berasal dari kelas pedagang kaya yang merasa terancam otoritas dan
dominasi mereka. Ancaman itu dirasakan begitu serius sehingga mereka memutuskan
untuk menyiksa para pengikut Muhammad kapan dan di manapun. Karena alasan
tersebutlah, Nabi memerintahkan para pengikutnya untuk hijrah ke Medinah,
tempat di mana dia memperoleh dukungan dan jaminan tertentu. Bahkan sekelompok
pengikutnya ada yang sudah lebih dulu hijrah ke Ethiopia.
Nabi Muhammad, dengan
inspirasi wahyu ilahiyah menurut formulasi teologis, mengajukan sebuah
alternatif tatanan sosial yang adil dan tidak eksploitatif serta menentang
penumpukkan kekayaan di tangan segelintir orang (oligarki). Memang rumusan
Al-Qur’an lebih bersifat teologis, tidak sosiologis, seperti pada umumnya
sistem berpikir yang dirumuskan pada masa kenabian, tetapi semua orang akan
melihat betapa rumusan-rumusan itu mempunyai implikasi-implikasi sosial yang
sangat besar. Distribusi kekayaan yang berlebih kepada kelompok masyarakat yang
lemah diistilahkan dengan infaq fi sabilillah. Al-Qur’an mengutuk orang-orang
yang menimbun emas dan perak, tidak menafkahkannya di jalan Allah serta meminta
Nabi untuk memperingatkan mereka, bahwa hukuman yang berat menunggu mereka.[16]
Dengan struktur ekonomi yang berlaku dalam masyarakat ketika itu, maka
satu-satunya jalan untuk memberikan perlindungan bagi orang-orang yang lemah
adalah memberi tanggung jawab kepada orang-orang kaya untuk membagikan
kelebihan kekayaan di jalan Allah.
Haruslah diingat, bahwa
ketika revolusi sosial didakwahkan melalui konsep-konsep religius, maka terma
yang demikian itu pasti digunakan. Namun untuk mempertahankan keutuhan ruh dari
ajaran-ajaran teologis ini, maka diskursus teologis ini harus ditafsirkan
kembali dalam terma sosial, politik dan ekonomi modern. Ajakan teologis untuk
membagikan kelebihan kekayaan di jalan Allah, dalam terma sosial modern,
ditransformasikan menjadi penciptaan institusi-institusi yang tepat misalnya
pemilikan alat-alat produksi oleh masyarakat, penarikan pajak melalui negara
untuk pembiayaan berbagai proyek kesejahteraan rakyat, dan institusi-institusi
lain yang mampu memeratakan kekayaan di dalam masyarakat.
Nabi tidak pernah
berkeinginan untuk memutarbalik roda sejarah. Ia sangat keras mengecam praktek
riba yang eksploitatif, namun sama sekali tidak mengharamkan laba yang
diperlukan dalam masyarakat perdagangan. Hanya saja ia memberi batasan-batasan
tertentu untuk menghilangkan praktek-praktek pemerasan dan penghisapan yang
dilakukan oleh para pedagang yang serakah dan tidak jujur. Menghilangkan sama
sekali laba akan membuat surut masyarakat komersial yang sedang berkembang.
Tentu saja, semua praktek licik yang dianggap curang atau mengambil keuntungan
yang tak semestinya dari seseorang sangat dikutuk. Ibnu Hazm, seorang ahli
hukum terkenal menyatakan prinsip transaksi terbuka:
“Penjualan suatu barang yang
fakta-faktanya tidak diketahui oleh penjual tidak dibenarkan, sekalipun
diketahui oleh pembeli; demikian pula untuk komoditas yang tidak jelas bagi
pembeli meskipun penjual mengetahuinya. Transaksi barang-barang yang kedua
belah pihak (penjual dan pembeli) tidak mengetahui fakta-faktanya, juga tidak
diperbolehkan (tidak sah).”[17]
Dalam situasi tertentu,
bahkan di negara-negara sosialis sekali pun, perdagangan swasta, perusahaan
bahkan produksi tetap diperbolehkan pada skala yang terbatas, selama tidak
menimbulkan eksploitasi-eksploitasi terhadap orang lain. Seseorang tidak bisa
kaku dalam masalah-masalah seperti ini. Sangat bergantung pada situasi tempat
kita berurusan. Nabi sadar benar akan situasi dan idealismenya selalu mempunyai
dimensi historis. Karena untuk berhasil, suatu revolusi sosial harus memiliki
kesadaran sejarah dan harus merespon kebutuhan-kebutuhan yang secara sosial
dirasakan oleh orang-orang yang terkena revolusi sosial tersebut. Konsep riba
tersebut (biasanya diterjemahkan sebagai bunga) juga harus dipahami dalam
konteks sejarah yang tepat. Motif nyata untuk melarang riba (persoalan ini akan
dibicarakan secara rinci di bab lain) adalah untuk mengakhiri eksploitasi
terhadap orang-orang yang tidak berdaya, dan bukan merupakan larangan total
terhadap semua bentuk bunga. Konsep riba, menurut saya, juga harus termasuk
keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari ‘eksploitasi’ tenaga kerja, atau
keuntungan dari penanaman modal yang mengabaikan kebutuhan-kebutuhan dasar
masyarakat.
Al-Qur’an, di samping
mendakwahkan cita-cita Islam, tidak pernah mengabaikan konteks situasinya dan,
sebenarnya hal inilah yang menjadi rahasia keberhasilannya. Misalnya ia tidak mengambil
pendekatan kelas dengan jelas, karena pendekatan itu hampir-hampir tidak akan
berfungsi dalam situasi sejarah berikutnya. Al-Qur’an membenci perbudakan, tapi
tidak segera menghapusnya begitu saja. Perbudakan bukan merupakan bagian
integral dari sistem ekonomi di Mekkah. Meskipun begitu, perbudakan tetap
menjadi masalah yang sangat penting. Terlepas dari dukungan biaya yang bisa
diperoleh Nabi dari tokoh-tokoh penting di Mekkah dan Medinah, penghapusan
perbudakan bisa menimbulkan masalah baru yang tak terpecahkan pada masa
permulaan Islam.[18] Nabi menempuh cara-cara gradual untuk menghapuskan
perbudakan. Nabi juga memberikan hak-hak budak yang sebelumnya terabaikan.
Namun, sayangnya konteks sejarah belum matang untuk pembebasan budak secara
total, dan karenanya, alih-alih melemah, lembaga perbudakan malah semakin
menguat setelah Nabi wafat. Setelah imperium Byzantium dan Persia berhasil
ditaklukkan, Islam berubah menjadi feodal (feudalised) dan menjadi kekuatan
yang eksploitatif yang terlembaga selama tiga dekade serta telah kehilangan
elan pembebasannya. Para ahli hukum Islam berhadapan dengan situasi kesejarahan
yang konkrit, melakukan kodifikasi hukum syari’ah di bawah pengaruh atmosfir
tersebut, dan dengan demikian mereka juga kehilangan elan pembebasan
Islam-awal. “Kerusakan berat” pada elan pembebasan dan progresivitas Islam ini
telah ditimbulkan oleh para ahli teologi dan ahli hukum Islam dengan cara
mengaburkan apa yang diperintah oleh batasan-batasan situasional. Generasi
berikutnya mengikuti mereka secara tidak kritis dan dengan demikian terciptalah
suatu tatanan syari’ah yang kaku dan tidak dapat diubah. Sementara itu, ulama
masa kini–dengan semangat tidak kritis yang sama–menganggap hukum-hukum yang
dirumuskan oleh ulama terdahulu sama dengan kebijaksanaan Ilahi dan mempunyai
validitas abadi. Mereka juga mengabaikan fakta bahwa kebijaksanaan Ilahiyah
bersifat transendental, melampaui batas-batas ruang dan waktu. Salah satu
fungsi Tuhan yang essensial adalah rububiyyah yang didefinisikan oleh Imam
Raghib Asfahani sebagai membimbing ciptaan-Nya melalui tahap-tahap evolusi yang
berbeda ke arah kesempurnaan.[19] Jika kebijaksanaan ilahiyah harus tetap
berlaku, para ulama mestinya berupaya terus menerus untuk memecahkan ketegangan
antara yang aktual dan yang mungkin, yang nyata dan yang ideal, yang sementara
dan yang abadi.
Masalah lain yang juga
selalu disalahpahami adalah makna jihad dalam Islam. Selama ini jihad diartikan
sebagai persetujuan Islam untuk menggunakan cara kekerasan. Kesan, bahwa Islam
mengabsahkan cara kekerasan dalam mencapai tujuannya terus berlangsung. Agama
tidak dapat disebarkan dengan pedang. Ia tersebar karena kesadaran. Orang harus
kembali pada asal-usul Islam jika masalah ini ingin dipahami dalam konteks yang
tepat.
Pada periode permulaan Islam
di Mekkah, kaum muslimin merupakan minoritas kecil yang berhadapan dengan
pedagang-pedagang kaya Mekkah yang mapan dan kuat. Mereka hampir-hampir tidak
bisa mengangkat senjata menghadapi penantang-penantangnya yang kuat itu. Dalam menghadapi
penindasan seperti itu, satu-satunya jalan yang mereka tempuh adalah pindah ke
suatu negeri yang lebih aman dan hal ini dilakukan oleh kaum Muslimin setelah
mendapat perintah Nabi. Mula-mula serombongan kaum Muslimin hijrah ke Ethiopia
dan rombongan berikutnya hijrah ke Medinah. Kemudian Nabi juga ikut bergabung.
Beberapa orang dari suku Aus dan Khazraj bergabung dengan Nabi dan di sana nabi
menyusun kekuatan. Di Medinah juga terdapat beberapa suku Yahudi yang cukup
berpengaruh. Nabi membuat suatu kesepakatan dengan berbagai suku, termasuk kaum
Yahudi, dalam upayanya membentuk sebuah masyarakat yang kohesif.
Di sini, kita harus
membedakan antara perang untuk menyebarkan agama dan perang sebagai sekedar
cara untuk mempertahankan diri ketika berhadapan dengan musuh yang militan.
Sejauh dikaitkan dengan kategori yang pertama, Islam justru tidak percaya pada
penggunaan kekerasan. Sikap Al-Qur’an jelas:
La Ikraha fi al-Din (tidak
ada paksaan dalam agama),[20]
dan selanjutnya ia
menyatakan:
“Katakanlah hai orang-orang
kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah dan engkau tidak akan
menyembah apa yang aku sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.[21]
Tidak perlu orang dipaksa
untuk menerima suatu agama. Konversi agama mestilah dibebaskan dari ancaman dan
pengaruh. Menurut Al-Qur’an, Tuhan telah membuat jelas jalan yang lurus dan
membedakannya dengan jalan yang salah. Adalah hak seseorang untuk mengikuti
jalan yang benar atau mengikuti jalan yang salah.
“Seseorang boleh melanjutkan
mengikuti thagut, atau percaya kepada Tuhan”.[22]
Tidak ada paksaan sama
sekali.
Masalahnya menjadi lain,
bila seseorang disiksa, disakiti atau diserang. Islam memperbolehkan penggunaan
kekerasan atau perang hanya dalam kasus-kasus seperti itu. Dr. Khalfallah tetap
berpendapat bahwa orang Islam tidak pernah memaksa untuk membangun kekuasaan
atas orang lain atau untuk merampas kemerdekaannya, atau untuk menganiaya orang
lain, untuk menumpahkan darah orang lain, atau merebut hak orang lain, atau
mengeksploitasi kekayaan orang lain, atau menindas orang lain. Ia selanjutnya
mengatakan, dengan mengutip Muhammad Abduh, bahwa memaksa orang lain untuk
memeluk suatu agama tidak diperbolehkan, begitu pula orang lain tidak boleh
memaksa seseorang untuk meninggalkan agama yang telah dipeluknya.[23] Ketika
seseorang dianiaya atau diusir dari rumahnya sendiri, maka ia harus melawan
tirani itu. Menurut etik Al-Qur’an, melindungi orang-orang yang tertindas
adalah suatu keharusan. Al-Qur’an berkata:
“Mengapa kamu tidak mau
berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki,
perempuan dan anak-anak yang semuanya berdo’a: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami
dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami perlindungan
dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong di sisi-Mu”.[24]
Juga dikatakan:
“Dan perangilah mereka,
supaya jangan ada fitnah lagi, dan supaya agama itu semata-mata bagi Allah.
Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah maha melihat
atas apa yang mereka kerjakan.[25]
Dengan demikian jelas, bahwa
berjuang (berperang) diizinkan dalam Al-Qur’an tidak untuk memaksa seseorang
untuk memeluk Islam, tapi untuk mengakhiri penganiayaan dan untuk melindungi
orang-orang lemah dari penindasan orang-orang kuat.
Kajian yang seksama atas
Al-Qur’an juga menunjukkan, bahwa Al-Qur’an berpihak pada posisi orang-orang
yang lemah dalam menghadapi orang-orang yang kuat. Term yang digunakan
Al-Qur’an bagi mereka adalah mustadh’afin (orang-orang yang dilemahkan) dan
mustakbirin (orang-orang yang sombong). Semua Nabi Israel digambarkan di dalam
Al-Qur’an sebagai pembela mustadh’afin menghadapi mustakbirin, yakni
orang-orang kaya dan penguasa suatu negeri. Karena itu, nabi Israel terkemuka,
Musa, digambarkan sebagai pembebas orang-orang yang tertindas (bangsa Israel)
dari penindasan Fir’aun (mustakbirin). Simpati Tuhan pun ditujukan kepada
orang-orang yang tertindas itu. Tuhan berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan Kami hendak memberi
karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan
mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi.”[26]
Inilah konsep Al-Qur’an
tentang kepemimpinan bagi orang tertindas.
Pertarungan antara
mustadh’afin dan mustakbirin itu akan terus berlangsung, hingga Din Allah yang
berbasis pada Tauhid menyatukan semua rakyat (tanpa perbedaan lagi antara
mustadh’afin dan mustakbirin, orang-orang yang menindas dan orang-orang yang
tertindas, kaya-miskin) sehingga menjadi suatu masyarakat “tanpa kelas”. Dari
perspektif ini jelaslah bahwa Al-Qur’an menghadirkan suatu teologi pembebas dan
dengan demikian membuat teologi yang sebelumnya mengabdi kepada kelompok
penguasa yang eksploitatif menjadi teologi pembebasan. Sayangnya, Islam dalam
fase-fase berikutnya, justru mendukung kemapanan itu. Tugas generasi baru Islamlah
untuk merekonstruksi lagi teologi Islam revolusioner-transformatif dan
membebaskan itu.
Catatan
1 Al-Qur’an (33:62)
2 Al-Qur’an (53:40)
3 Al-Qur’an (21:45)
4 Al-Qur’an (21:48)
5 Konsep determinisme
sejarah digunakan dalam maknanya yang lebih luas dalam buku ini, berbeda dengan
kategori Marxis, tidak mengesampingkan faktor-faktor tujuan ketuhanan. Konsep
ini tidak dengan pengertian mekanis yang sempit.
6 Al-Qur’an (21:46)
7 Saya setuju dengan Paul
Tillich yang mengatakan bahwa “Manusia, sejauh ia membangun dan mengejar
tujuannya, pada dasarnya bebas. Ia mentransendensikan situasi yang ada sambil
meninggalkan kenyataan itu untuk mencari kemungkinan-kemungkinan. Ia tidak
terikat pada situasi tempat ia menemukan dirinya, dan itulah yang disebut
sebagai transendensi diri yang menjadi kualitas dasar kebebasan. Karena itu
tidak ada situasi historis apapun yang bisa membatasi situasi historis lain
secara total. Transisi dari suatu situasi ke situasi lain adalah sebagian
dibatasi oleh reaksi-reaksi kemanusiaan dengan kebebasannya. Sesuai dengan
polaritas kebebasan dan keterbatasan, transendensi itu tidaklah absolut: ia
berasal dari totalitas elemen-elemen masa lampau dan masa keuangan, perdagangan
dan peredaran uang itu, suatu pandangan hidup dan cara pandang baru sedang
berkembang, meskipun belum dinyatakan secara sadar dan jelas. Kerja komersial
tentu mempunyai logikanya sendiri dan mengarahkan masyarakat kepada suatu cara
hidup tertentu. Dinamika sosial dalam masyarakat Mekkah yang seperti itu
mengarahkan pada suatu kehidupan yang tidak selaras dengan kehidupan masyarakat
yang beralaskan norma-norma kesukuan.
8 Asghar Ali Engineer, The Origin and Development
of Islam, Orient and Longman, 1980, hal. 41.
9 Watt mencatat, “Mereka
membentuk suatu aliansi antar klan, yang dapat kita sebut sebagai Liga
orang-orang Tulus–nama-nama lain juga sering kita temukan. Muhammad menghadiri
pertemuan yang pembentukan Liga itu, bahkan ia menyetujui pembentukan liga itu.
Tujuan liga itu adalah untuk menjaga integritas perdagangan, tapi di balik itu,
liga berkepentingan untuk mencegah keluarnya pedagang Yaman dari pasar Mekkah,
karena liga merasakan kesulitan jika harus mengirimkan sendiri kafilah mereka
ke Yaman yang selama ini sangat profesional dalam perdagangan antar kota terutama
Mekkah dan Syria. (M.
Montgomery Watt, Muhammad, Prophet and Statesman, London, 1961), hal. 9.
10 HAR. Gibb berkomentar, Mekkah
ketika itu menyimpan sisi gelap. Kejahatan dalam masyarakat pedagang kaya
adalah hal yang biasa, begitu juga kesenjangan yang amat jauh antara kaya dan
miskin, perbudakan dan persewaan manusia dan tajamnya pertentangan kelas-kelas
sosial. Hal ini jelas dari keluhan Nabi Muhammad atas ketidakadilan sosial dan
inilah yang menyebabkan guncangan keras dalam dirinya. (HAR. Gibb, Mohammadanism,
Oxford, 1969), hal. 11 Pada permulaan tahun Masehi, salah satu dari suku-suku
Arab bernama Quraisy menduduki Mekkah. Kota ini terdiri dari wilayah-wilayah,
dan setiap wilayah terdapat klan yang termasuk suku Quraisy. Penduduk Mekkah
ikut serta dalam perdagangan baik ke dalam maupun ke luar, dan inilah yang
menyebabkan kemakmuran kota ini sekaligus menyebabkan kesenjangan oendapatan
yang besar. Dalam suku Quraisy sendiri, terdapat keluarga-keluarga kaya
terlibat dalam perdagangan dan praktek riba. (A.P. Petrovsky, Islam da Iran,
Persian, diterjemahkan oleh Karim Kashawarz, Teheran, 1950) hal. 16.
12 Al-Qur’an (104
13 Al-Qur’an (34:34)
14 Al-Qur’an (34:37)
15 Muhammad Ahmad Khalfallah, Muhammad wa Quwwa
al-Muwadadah (Kairo, 1973) hal. 113-4.
16 Al-Qur’an (9:34)
17 Ibn Hazm, Al-Mahalli, vol. 8 hal. 439, lihat
juga Dr. Muhammad Nijatullah Shiddiqi, Economic Enterprise in Islam (Delhi,
1979) hal. 55.
18 Untuk uraian lengkap mengenai masalah
perbudakan, lihat Asghar Ali Engineer, The Origin and Development of Islam, op.
cit., 19 Lihat Mufradat Imam Raghib; lihat Maulvi Muhammad Taqi Amini, Islam ka
Zar’I Nizam (Delhi, 1981) hal. 13
20 Al-Qur’an (2:256)
21 Al-Qur’an 109
22 Al-Qur’an (2:256)
23 Dr. Muhammad Ahmad
Khalfallah, op. cit., hal. 244.
24 Al-Qur’an (4:75)
25 Al-Qur’an (8:39)
26 Al-Qur’an (28:5)